Aksi Premanisme Penarikan Kendaraan oleh "Mata Elang" di Kota Serang Berkeliaran Bebas
Serang – Aksi penarikan kendaraan bermotor oleh oknum yang mengaku sebagai debt collector atau “mata elang” (Matel) kembali meresahkan masyarakat Kota Serang. Diduga, aksi tersebut dilakukan oleh penagih utang dari PT BGP.
Insiden terbaru terjadi pada 29 September 2025 sekitar pukul 16.30 WIB di Jalan Ciracas, depan Citra Land Puri.
Korban, Selvia Herlina, debitur pembiayaan dari WOM Finance, mengaku kendaraan miliknya — Honda Brio tahun 2017 — ditarik paksa meski telah melakukan pembayaran angsuran selama 20 bulan.
“Saya berharap aparat kepolisian bisa menertibkan praktik seperti ini agar masyarakat tidak terus merasa resah,” ujar Selvia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019, penarikan kendaraan tidak boleh dilakukan secara sepihak di jalan tanpa melalui prosedur hukum.
Putusan MK menegaskan, lembaga pembiayaan hanya dapat menarik kendaraan jika memiliki sertifikat fidusia yang terdaftar dan debitur menyerahkan kendaraan secara sukarela. Bila debitur menolak, maka proses penarikan harus diajukan ke pengadilan, bukan melalui pihak ketiga di lapangan.
Tindakan penarikan paksa kendaraan di jalan dapat masuk unsur pidana, terutama jika disertai ancaman, kekerasan, atau perampasan.
“Debt collector atau mata elang bukan aparat penegak hukum, sehingga tidak memiliki kewenangan menarik kendaraan tanpa dokumen resmi. Jika kendaraan dijaminkan secara fidusia, maka eksekusinya wajib melalui pengadilan. Kami siap menindak tegas siapa pun yang bertindak sewenang-wenang di lapangan,” tegas salah satu aparat terkait.
Pengamat hukum dan aktivis menegaskan, masyarakat perlu memahami hak-haknya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Debitur berhak menolak penarikan kendaraan yang tidak disertai sertifikat fidusia atau keputusan pengadilan. Jika dipaksa, segera laporkan ke polisi karena hal itu termasuk pelanggaran hukum,” ujar Dr. Hendra, akademisi hukum.
Ia juga menekankan pentingnya pendekatan persuasif dan edukatif oleh lembaga pembiayaan, bukan intimidatif.
“Penarikan kendaraan di jalan bukan hanya melanggar hukum, tapi juga merusak citra lembaga pembiayaan,” tambahnya.
Sementara itu, Mahri, salah satu aktivis muda di Kota Serang, turut menyuarakan keprihatinannya terhadap maraknya praktik penarikan ilegal tersebut.
Ia menyebut, sebelumnya pihaknya sempat mendampingi korban untuk mengajukan pelunasan dengan membayar pokok utang, namun pihak WOM Finance justru menolak dan meminta tambahan denda serta biaya penarikan, yang dinilai mempersulit debitur.
“Kami mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap oknum yang menggunakan cara-cara intimidatif di lapangan. Masyarakat harus merasa aman, bukan takut saat melintas di jalan,” ujarnya.
Mahri juga mengimbau masyarakat agar tidak menyerahkan kendaraan kepada siapa pun tanpa surat resmi penarikan atau dokumen fidusia yang sah.
“Jika ada yang memaksa, segera dokumentasikan, laporkan ke polisi, dan jangan takut memperjuangkan hak Anda,” tegasnya.
Ia menambahkan, penarikan kendaraan tanpa prosedur yang sah dapat dijerat Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan atau Pasal 365 KUHP tentang Perampasan, tergantung pada unsur kekerasannya.
Dorongan Penegakan Hukum dan Edukasi Publik
Pemerintah, aparat penegak hukum, dan lembaga pembiayaan diharapkan bersinergi menegakkan aturan serta memberikan edukasi hukum kepada masyarakat, agar tidak ada lagi korban penarikan ilegal di jalan.
“Selanjutnya kami akan menggandeng koalisi lembaga untuk mendorong supremasi hukum. Bila perlu, kami akan menggelar aksi unjuk rasa di kantor cabang WOM Finance Serang dan Polresta Serang Kota,” tutup Mahri.